UU TPKS Resmi Berjalan Hampir 2 Tahun, Komnas Perempuan Beri Komentar Begini…

Kaltimindeksmedia — Komnas Perempuan mengapresiasi upaya-upaya berbagai pihak yang telah mengupayakan implementasi terbaik dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan mengajak semua pihak untuk mengawal pelaksanaan UU TPKS dengan membangun pengetahuan, mensikronkan berbagai kebijakan dan mendokumentasikan pengalaman perempuan korban dalam mendapatkan hak atas keadilan, penanganan, pelindungan dan pemulihan.

Pernyataan ini disampaikan dalam memperingati UU TPKS yang akan memasuki usia dua tahun pada 9 Mei 2024 mendatang.

Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi (dok: womenunlimited)
Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi (dok: womenunlimited)

Ketua Subkom Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyampaikan catatan dan apresiasi terhadap pengesahan dua perpres peraturan pelaksana UU TPKS dan peraturan Kementerian/Lembaga untuk pencegahan dan penanganan TPKS.

Yaitu berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Perpres Diklat), Perpres No. 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (Perpres UPTD PPA),

Selain itu Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama (PMA 73/2022), Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek 46/2023) dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja (Pedoman P3KS di Tempat Kerja).

“Selain dua perpres peraturan pelaksana dan peraturan kementerian untuk pencegahan dan penanganan TPKS, sinkronisasi dan harmonisasi di tingkat undang-undang telah dilakukan dalam UU No.1 tahun 2023 tentang KUHP yang menyatakan perkosaan dan pencabulan sebagai tindak pidana kekerasan seksual,” tuturnya.

Ketentuan ini, kata Siti, menjadi jembatan untuk penggunaan ketentuan hukum acara dan pemenuhan hak-hak korban mengikuti ketentuan dalam UU TPKS. Demikianhalnya dengan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang menjamin layanan kesehatan untuk korban TPKS.

“Sayangnya hal ini tidak terjadi dalam UU Nomor 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan dan UU No.1 tahun 2024 tentang ITE. Ke depan kami merekomendasikan proses partisipasi publik diperluas dan komprehensif, termasuk dengan membuka dan menerima masukan publik berbasis aplikasi web,” ujar Siti Aminah.

Sementara itu, masih terdapat lima peraturan pelaksana yang belum disahkan, yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Koordinasi dan Pemantauan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RPP Dana Bantuan Korban TPKS, RPP Pencegahan, Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual  (RPP 4PTPKS), Rancangan Perpres (RPerpres) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS, dan RPerpres Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan di Pusat.

Sementara, untuk kasus TPKS yang diterima Komnas Perempuan sejak Mei 2022 sampai dengan Desember 2023, berjumlah 4.179 pengaduan. KSBE tercatat menduduki posisi tertinggi (2.776 kasus), diikuti dengan pelecehan seksual fisik (623 kasus), dan perkosaan (297 kasus).

Komisioner Maria Ulfa Anshor menyampaikan KSBE menempati urutan pertama pengaduan, selain pola relasi dan interaksi masyarakat yang berubah dengan penggunaan ITE juga karena telah adanya larangan KSBE. Demikian juga dengan kasus-kasus pelecehan seksual non-fisik dan fisik semakin banyak dilaporkan menunjukkan bahwa pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual semakin dikenali.

Lebih lanjut, Maria Ulfah menjelaskan bahwa sepanjang hampir dua tahun pasca pengesahan UU TPKS, Komnas Perempuan masih mendapati hambatan korban TPKS dalam mengakses keadilan dan pemulihannya.

Penanganan dan penyelesaian kasus TPKS yang tidak diselesaikan dengan menggunakan UU TPKS, seperti di Propinsi Aceh. Penyelesaian didorong dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan, pemberian ganti kerugian dari pelaku menghentikan kasus TPKS, pelaku tidak diberhentikan di tempat kerja, tuduhan pencemaran nama baik, permintaan uang untuk transportasi pemeriksaan terlapor dan perlakuan yang tidak nyaman dalam pemeriksaan korban.

“Komnas Perempuan telah berupaya pula untuk mendorong pemahamanan dan implementasi UU TPKS dengan berbagai pendekatan. Diantaranya, dengan menyusun buku pengantar untuk memahami UU TPKS, berbagi pengetahuan tentang TPKS melalui berbagai kegiatan diseminasi, penelitian dan menyelenggarakan ujicoba pelatihan penghapusan kekerasan seksual bagi aparat penegak hukum, dan pengada layanan,” tandasnya.

“Pada penegakan hukum, Komnas Perempuan memberikan saran kontruktif penggunaan UU TPKS melalui surat rekomendasi maupun menjadi Ahli dalam persidangan. Ke depan, selain terus memantau pembentukan peraturan, membangun pengetahuan TPKS, Komnas Perempuan juga akan memperbaiki sistem pendokumentasian dan membangun instrumen pemantauan pencegahan dan penanganan TPKS baik secara mandiri maupun bersama dengan lembaga nasional HAM lainnya. Sehingga kita sama-sama mengawal dan mengoptimalkan pelaksanaan undang-undang ini,” pungkas Siti Aminah Tardi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *