Stop Kelola Batu Bara 2040, Begini Tanggapan Legislator Kutim Jimmi

Kutim — Indonesia telah menandatangani kesepakatan transisi batu bara global menuju energi bersih pada KTT COP26 untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap hingga tahun 2040.

Indonesia kini diketahui menjadi negara penghasil batu bara terbesar ke-3 di dunia, dengan volume produksi 725 juta ton atau 8,3% dari total produksi global.

Kebergantungan Indonesia akan batu bara juga dipandang masih tinggi, karena sebagian besar digunakan memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri. Ratusan ton batu bara dipakai untuk pembangkit listrik tenaga uap.

Sementara, di Kutim, batu bara juga tentu saja menjadi andalan mendongkrak ekonomi daerah. Data yang tersaji, nyatanya pertambangan dan penggalian di wilayah “Magic Land” itu jadi penyumbang ekonomi hingga 87,70 persen.

Bila ini terus dibiarkan, bisa-bisa wilayah dengan pemanfaatan tambang batu bara, khususnya Kutim, akan berhenti beroperasi.

Apalagi Indonesia sudah menyepakati secara perlahan stop impor plus gunakan batu bara pada 2040. Karena itu dibutuhkan lapangan kerja baru, plus SDM baru dalam menggadapi tantangan ini.

Menanggapi itu, legislator Kutim Jimmi, menegaskan bahwa batu bara dapat dijadikan sebagai bahan lain seperti kosmetik, metanol, dan juga amonia (senyawa kimia NH3) dan sebagainya.

Untuk itu, Jimmi mengatakan tambang batu bara tetap beroperasi, namun diprediksi kemungkinan produksi akan berkurang. Tetapi dapat mendatangkan keuntungan lain seperti pembukaan lapangan pekerjaan yang lebih massif karena mengubah batu bara menjadi produk tertentu.

“Nahh jadi, sebenarnya tambang itu tetap berjalan. Hanya saja mungkin pemanfaatannya ini apakah bisa semasif ketika menjual mentah atau dikelola sendiri. Jadi alternatif seperti itu yang perlu pertimbangan. Apakah nanti daerah kita pendapatannya semasif yang sekarang ini,” ucap Jimmi saat ditemui beberapa waktu lalu.

Artinya, kata dia, tambang tetap ada. Karena potensi batubara saat ini, misalnya ke arah Wahau masih lebih besar ketimbang KPC. Diketahui KPC sudah berjalan sekitar 40-an tahun. Artinya potensi yang ada di Kutim masih lebih banyak dari 40 tahun ini.

“Artinya tambang itu masih niscaya ada. Hanya saja pemanfaatan atau membentuk produk jadinya masih dipertimbangkan apakah masih semassif ini,” terangnya.

Kemudian, tambah Jimmi, adalah gasifikasi batu bara, yaitu proses konversi batubara menjadi produk gas yang dapat digunakan untuk bahan bakar, maupun bahan baku industri kimia, juga memungkinkan untuk dihadirkan. “Itu kan alternatif, dan kita perlu persiapkan SDM kita.”

Di lain pihak, sambung Jimmi, negara ini berupaya berkolaborasi dengan investor untuk mengolah batu bara menjadi produk tertentu.

“Nahh itu yang perlu dikembangkan, dan tenaga kerja ini harus dipersiapkan memang. Dalam kurun waktu 20 tahun ini kan regenerasinya sudah harus ada. Tapi dari sisi lain tambang tetap ada. Bisa diperkirakan masih ratusan tahun lagi,“ tandasnya.

“Jadi kekhawatiran kita terkait dengan menurunnya APBD, yaa kita harus bagaimana mengantisipasi itu dengan mengolah kekuatan SDM dengan antisipasi serta manfaatkan potensi SDA,” sambungnya.

Saat ini pihaknya tengah membicarakan hal tersebut. Bagimana persiapan awalnya, SDA yang dibutuhkan, bagaimana pengembangan skillnya, termasuk jangkauan pemasaran produk yang nanti akan dihasilkan dari pengelolaan batu bara.

“Kalau kita kan RPJP itu arahnya ke sana. Bagaimana hilirisasi dari hasil SDA itu terutama mineral dan batu bara menjadi barang jadi. Kita perlu semuanya. Kita butuh pemasaran, ahli-ahli juga yang tentu sesuai dengan disiplin ilmunya,” tuturnya.

“Kita yakin penyerapan tenaga kerja akan lebih besar lagi dari yang sekarang. Jadi yang sekarang ini kalau bisa, karyawan tambang, investasi di perkebunan dulu. Mereka punya investasi di lahan tidur dulu. Kita kepengen nanti Perusda untuk menginisiasi itu supaya masyarakat bisa menerima kepastian,” pungkasnya. (Adv)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *