INDEKS MEDIA KALTIM

Berita Hari Ini di Kalimantan Timur (Kaltim)



Psikolog Buka Fakta Bahaya Judol: Bukan Cuma Uang Habis, Tapi Keluarga Bisa Hancur!

Jibril Daulay Jibril Daulay - 1,14600 views
Ilustrasi Permainan Judi Online. (Ist)

SAMARINDA, INDEKSMEDIA.ID — Malam di rumah-rumah kini tak lagi selalu diisi dengan canda keluarga. Di banyak tempat, cahaya layar ponsel menggantikan percakapan hangat di meja makan. Di balik layar itu, sebagian orang sedang mengejar “kemenangan besar” yang dijanjikan — di dunia judi online (judol).

Fenomena ini kini bukan sekadar soal kerugian uang. Judol telah menjadi pemicu retaknya hubungan keluarga, memunculkan masalah emosional, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.

Ketua Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi (IPK HIMPSI) Kalimantan Timur, Ayunda Ramadhani, mengatakan pola permainan judi online memang sengaja dirancang untuk menimbulkan efek kecanduan psikologis.

“Biasanya di awal pemain akan menang. Rasa senang itu memicu mereka mempertaruhkan uang lebih banyak,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (14/10/2025).

Berikut sejumlah fakta psikologis di balik fenomena judol yang menghancurkan pengguna hingga keretakan rumah tangga.

1. Kemenangan yang Menjerat

Menurut Ayunda, setiap kemenangan kecil dalam permainan memicu pelepasan dopamin — hormon kebahagiaan — di otak. Tubuh dan pikiran kemudian “menagih” sensasi yang sama, hingga seseorang tanpa sadar terperangkap dalam siklus taruhan.

“Dorongan biologis ini membuat pemain sulit berhenti. Kalau dibiarkan, bisa berubah jadi adiksi. Dampaknya langsung terasa pada interaksi keluarga,” jelasnya.

Ayunda menyebut, efeknya bukan hanya kehilangan uang, tapi juga keretakan hubungan dan konflik emosional di rumah tangga. Dalam beberapa kasus, pertengkaran soal uang bahkan berujung KDRT.

“Yang tadinya mencari hiburan, malah memunculkan tekanan baru,” katanya.

2. Pelarian dari Stres, Bukan Solusi

Banyak pemain, lanjut Ayunda, menjadikan judi online sebagai pelarian dari stres ekonomi. Namun yang terjadi justru sebaliknya — kerugian finansial membuat masalah semakin menumpuk.

“Stres akan bertambah, bukannya berkurang,” tegasnya.

Gejala kecanduan bisa dikenali dari perubahan perilaku sehari-hari: begadang untuk memantau permainan, abai terhadap pasangan dan anak, mudah tersulut emosi, serta sering berutang demi modal bermain.

“Kalau sudah kehilangan uang secara tidak wajar atau mulai sering pinjam uang, itu alarm bagi keluarga untuk segera mengajak bicara,” ujar Ayunda.

3. Jalan Pemulihan: Bicara, Bukan Menghakimi

Ayunda menekankan bahwa pendekatan empatik dan terbuka menjadi langkah pertama untuk membantu anggota keluarga yang terjebak kecanduan. Dukungan keluarga, konsultasi dengan psikolog atau psikiater, serta pengelolaan keuangan yang ketat menjadi langkah utama dalam pemulihan.

Selain itu, tindakan hukum bisa diambil jika pemain mengalami intimidasi dari pihak penyelenggara judi online.

“Kita harus bantu dengan cara yang tepat, bukan menghakimi. Karena pada dasarnya mereka korban dari sistem yang dirancang untuk membuat ketagihan,” jelasnya.

Pencegahan Dimulai dari Rumah

Untuk mencegah dampak lebih luas, Ayunda menekankan pentingnya literasi digital, penerapan parental control bagi anak-anak, serta edukasi publik tentang bahaya judi online.

“Kalau ingin punya uang banyak, ya kerja keras. Tidak ada jalan pintas, kecuali kita pewaris,” tutupnya dengan nada ringan namun penuh makna.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, per Oktober 2025 tercatat lebih dari 2,5 juta konten judi online telah diblokir, namun aktivitasnya terus bermigrasi ke aplikasi dan situs baru. Fenomena ini menunjukkan bahwa selain tindakan hukum, pendekatan sosial dan psikologis menjadi kunci dalam memutus rantai kecanduan digital yang kian marak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Maaf Untuk Copy Berita Silahkan Hubungi Redaksi Kami!