INDEKS MEDIA KALTIM

Berita Hari Ini di Kalimantan Timur (Kaltim)


Kontradiksi Kebijakan Paskibraka dengan Bhinneka Tunggal Ika

Ketika seorang Muslimah diminta untuk melepas jilbabnya demi 'keseragaman,' ini menunjukkan pemahaman yang sempit tentang persatuan dalam keberagaman.
Ekha | Jumlah pembaca: 5500 views
Kontradiksi Paskibraka dengan Bhinneka Tunggal Ika (.pexels)

Melepas jilbab di Paskibraka telah memicu kontroversi bagi Indonesia, negara dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan ini mencerminkan komitmen bangsa untuk menghargai dan menerima keragaman yang ada, baik dalam hal agama, budaya, maupun suku.

Namun, munculnya kebijakan yang meminta anggota Paskibraka untuk melepas jilbab menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kebijakan ini selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika?

Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana kebijakan tersebut berpotensi bertentangan dengan prinsip keberagaman yang menjadi dasar negara ini, serta implikasinya terhadap kohesi sosial Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika: Prinsip Dasar Keberagaman

“Bhinneka Tunggal Ika” adalah semboyan nasional Indonesia yang pertama kali dari Mpu Tantular dalam kakawin Sutasoma pada abad ke-14. Kemudian semboyan ini menjadi moto resmi negara, mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman. Pancasila, sebagai ideologi negara, juga menekankan pentingnya menjaga keragaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi serta penghormatan terhadap perbedaan.

Dalam konteks ini, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, melainkan prinsip yang mengarahkan bagaimana negara memperlakukan semua warganya. Semua warga negara, apa pun latar belakang agama, budaya, atau keyakinannya, memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan identitas mereka tanpa diskriminasi. Ini mencakup hak perempuan Muslimah untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari ekspresi keagamaan mereka.

Kebijakan Paskibraka: Memaksakan Keseragaman di Atas Keberagaman?

Kebijakan yang meminta anggota Paskibraka untuk melepas jilbab bagi masyarakat merupakan bentuk pemaksaan keseragaman yang mengabaikan keberagaman. Paskibraka, sebagai simbol kebanggaan nasional, harus mencerminkan semangat persatuan Indonesia. Namun, persatuan tidak harus berarti homogenitas. Sebaliknya, persatuan dalam konteks Indonesia seharusnya berarti penghargaan terhadap perbedaan.

Ketika meminta seorang Muslimah untuk melepas jilbabnya demi “keseragaman,” ini menunjukkan pemahaman yang sempit tentang persatuan. Keseragaman dalam konteks seragam mungkin penting untuk menciptakan visual yang harmonis dalam acara kenegaraan, tetapi tidak boleh mengorbankan identitas individu yang berakar pada keyakinan agama. Kebijakan ini berisiko merusak esensi Bhinneka Tunggal Ika dengan memaksakan satu bentuk identitas dengan identitas lain.

Potensi Diskriminasi dalam Kebijakan

Kebijakan yang melarang penggunaan jilbab pada acara Paskibraka ini bentuk diskriminasi terhadap perempuan Muslimah. Diskriminasi berbasis agama atau keyakinan bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak didiskriminasi berdasarkan apapun, termasuk agama.

Dalam hal ini, kebijakan yang memaksa seorang perempuan Muslimah untuk melepaskan jilbabnya merupakan tindakan diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia. Diskriminasi semacam ini tidak hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi cara negara memperlakukan warganya yang memiliki keyakinan berbeda.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Dasar Kebijakan Publik

Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan publik Indonesia. Kebijakan dari pemerintah, termasuk dalam hal seragam Paskibraka, harus mencerminkan prinsip keberagaman yang menghargai perbedaan. Dalam situasi ini, ada kebutuhan untuk meninjau ulang kebijakan yang memaksa anggota Paskibraka untuk melepas jilbab, dengan mempertimbangkan apakah kebijakan tersebut sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengedepankan dialog dan konsultasi dengan berbagai pihak sebelum mengambil keputusan yang dapat berdampak pada kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi keagamaan dan komunitas Muslim, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan tidak hanya adil, tetapi memastikan semua pihak bisa menerimanya.

Implikasi Lebih Luas bagi Kohesi Sosial

Ketika kebijakan dari pemerintah atau lembaga negara tidak mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, ini dapat memiliki implikasi serius terhadap kohesi sosial Indonesia. Kebijakan yang diskriminatif atau tidak menghargai keberagaman dapat memicu ketegangan dan perpecahan pada masyarakat. Hal ini berpotensi melemahkan persatuan dan kesatuan yang selama ini terjaga dengan susah payah.

Era globalisasi dan informasi ini, isu-isu seperti ini cepat menyebar dan mempengaruhi opini publik. Jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kebijakan yang salah, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat menurun. Hal ini pada gilirannya dapat mengancam stabilitas sosial dan politik negara ini.

Pentingnya Kebijakan yang Inklusif

Untuk menjaga kohesi sosial dan persatuan bangsa, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang inklusif dan menghormati keberagaman. Kebijakan yang inklusif adalah kebijakan yang tidak hanya mempertimbangkan kepentingan mayoritas, tetapi juga menghargai hak-hakKontradiksi minoritas. Dalam kasus Paskibraka, kebijakan yang mengakui hak setiap individu untuk menjalankan keyakinan agamanya, termasuk mengenakan jilbab, adalah langkah penting menuju Indonesia yang lebih inklusif.

Dengan menerapkan kebijakan yang inklusif, pemerintah dapat menunjukkan komitmennya terhadap nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Ini bukan hanya akan memperkuat persatuan antara warga negara, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia pada mata dunia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keberagaman.

Mengembalikan Semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam Kebijakan Paskibraka

Kasus kebijakan Paskibraka yang meminta anggota untuk melepas jilbab menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kebijakan tersebut dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk meninjau ulang kebijakan ini dan memastikan bahwa semua warga negara, tanpa terkecuali, dapat menjalankan hak mereka tanpa diskriminasi.

Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi landasan dalam semua kebijakan publik, termasuk dalam hal seragam Paskibraka. Dengan demikian, Indonesia dapat terus menjadi negara yang tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga merangkulnya sebagai kekuatan yang memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini