Akankan Nasib Orang Kutai Seperti Orang Betawi?
Relokasi ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Nusantara Kalimantan Timur memunculkan kekhawatiran baru, terutama terkait nasib masyarakat lokal. Pengalaman Jakarta sebagai ibu kota selama lebih dari 70 tahun telah membawa perubahan besar, khususnya bagi masyarakat asli Betawi yang kerap menjadi korban urbanisasi dan pembangunan.
Pertanyaan kini mengemuka: apakah Orang Kutai, sebagai penduduk asli Kalimantan Timur, akan menghadapi nasib yang sama?
Pengalaman Orang Betawi
Dari tuan rumah menjadi tamu rumah sendiri. Itulah pengalaman pahit dari betawi. Sejak Indonesia merdeka, Jakarta telah berkembang menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya. Namun, di balik kemegahan ibu kota, masyarakat Betawi, yang merupakan penduduk asli Jakarta, perlahan-lahan tersisih. Berbagai laporan menunjukkan bahwa tekanan urbanisasi, pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan tingginya arus migrasi ke Jakarta membuat Orang Betawi kehilangan banyak lahan dan akses ke peluang ekonomi.
Pada tahun 1961, Orang Betawi masih mendominasi dengan persentase lebih dari 22% dari total populasi Jakarta. Namun, pada sensus 2010, persentase tersebut turun drastis menjadi sekitar 6%. Penurunan ini terjadi karena banyak dari mereka harus menjual tanahnya akibat tekanan ekonomi karena pembangunan. Tekanan ekonomi dan urbanisasi ini telah mengubah peta demografi Jakarta secara signifikan, masyarakat Betawi menjadi minoritas pada kota mereka sendiri.
Studi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menunjukkan bahwa banyak Orang Betawi yang terpinggirkan secara ekonomi. Mereka sering tidak memiliki keterampilan untuk bersaing dalam ekonomi kota yang modern, sehingga mereka kehilangan mata pencaharian dan mengalami penurunan kualitas hidup. Ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat adat dalam menghadapi perubahan besar dari pembangunan dan urbanisasi.
Tantangan Bagi Orang Kutai
Relokasi ibu kota ke Nusantara di Kalimantan Timur menimbulkan kekhawatiran yang serupa bagi masyarakat Kutai, salah satu kelompok adat terbesar wilayah tersebut. Sebagai penduduk asli Kalimantan Timur, Orang Kutai memiliki sejarah panjang yang kaya dan terikat erat dengan tanah mereka. Namun, dengan hadirnya ibu kota baru, banyak yang khawatir bahwa mereka akan mengalami nasib yang sama seperti Orang Betawi.
Pembangunan IKN menarik populasi antara 1,5 juta hingga 2 juta orang dalam beberapa dekade mendatang, yang akan memicu arus migrasi besar-besaran ke wilayah tersebut. Tekanan ini bisa berupa kompetisi lahan, hilangnya tanah adat, dan perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat Kutai. Meski pemerintah telah berjanji untuk memperhatikan hak-hak masyarakat adat, kekhawatiran tetap ada, terutama mengingat pengalaman yang terjadi di Jakarta.
Studi dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyebutkan bahwa perubahan demografis yang cepat bisa memicu ketegangan antara pendatang dan masyarakat lokal, terutama jika tidak ada upaya yang serius untuk melindungi hak-hak tanah adat dan budaya mereka. Ini dapat menciptakan konflik sosial baru pada wilayah yang sebelumnya relatif damai.
Pelajaran dari Jakarta
Pengalaman Jakarta menunjukkan bahwa pembangunan besar-besaran tanpa mempertimbangkan dampak sosial bisa berakibat buruk bagi masyarakat lokal. Pada daerah Jakarta, pembangunan infrastruktur yang masif dan arus urbanisasi tidak hanya membuat Orang Betawi terpinggirkan, tetapi juga menyebabkan masalah sosial lain, seperti meningkatnya angka pengangguran dan ketidaksetaraan ekonomi.
Laporan dari Urban Studies Journal mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur Jakarta seringkali tidak melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaannya. Hal ini menyebabkan banyak penduduk asli kehilangan akses terhadap sumber daya dan peluang ekonomi yang ada. Seiring dengan itu, tingkat ketidaksetaraan Jakarta juga meningkat, dengan Orang Betawi berada pada salah satu posisi paling rentan.
Relokasi ibu kota ke Kaltim memerlukan perhatian khusus terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Tanpa pendekatan yang inklusif dan adil, dampak negatif untuk Orang Betawi bisa terulang pada daerah Kaltim, dengan Orang Kutai yang menjadi korbannya.
Perlunya Kebijakan yang Inklusif
Untuk mencegah nasib serupa menimpa Orang Kutai, penting bagi pemerintah untuk belajar dari pengalaman Jakarta. Perlindungan hak-hak tanah adat harus menjadi prioritas utama dalam proses relokasi ibu kota ini. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa masyarakat lokal mendapatkan manfaat langsung dari pembangunan, baik melalui kesempatan kerja, akses ke pendidikan, maupun program-program pemberdayaan ekonomi.
Menurut data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, perlu menguatkan perlindungan terhadap tanah adat Kaltim melalui regulasi yang jelas dan implementasi yang tegas. Selain itu, partisipasi masyarakat adat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan harus meningkat untuk memastikan bahwa pembangunan tidak merugikan mereka.
Studi dari World Bank menunjukkan bahwa ketika masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam pembangunan, dampak negatif bisa terminimalisir dan manfaat bisa terasa lebih merata. Hal ini bisa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola proses relokasi ibu kota yang sedang berlangsung.
Relokasi ibu kota ke Kalimantan Timur menawarkan banyak peluang, tetapi juga membawa tantangan besar, terutama bagi masyarakat adat seperti Orang Kutai. Pengalaman Orang Betawi di Jakarta memberikan gambaran tentang risiko yang mungkin dihadapi jika pembangunan tidak dilakukan dengan mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah preventif yang kuat untuk memastikan bahwa nasib Orang Kutai tidak berakhir seperti Orang Betawi, yang menjadi tamu pada tanah mereka sendiri. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan adil, pembangunan ibu kota baru bisa benar-benar menjadi berkah bagi semua pihak.
Tinggalkan Balasan