Wali Kota Andi Harun Respons soal Fatwa Pajak dari MUI: Pemerintah Tidak Boleh Gegabah
SAMARINDA, INDEKSMEDIA.ID — Pemerintah Kota Samarinda menegaskan komitmennya untuk tetap berpegang pada hukum positif dalam menyikapi berbagai isu nasional, termasuk terbitnya fatwa mengenai Pajak Berkeadilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Wali Kota Samarinda Andi Harun menekankan bahwa setiap kebijakan pemerintah harus lahir dari perangkat perundang-undangan, bukan semata dari pandangan normatif.
Fokus utama dialihkan dari substansi fatwa MUI menjadi penekanan Pemkot Samarinda mengenai pentingnya dasar hukum formal serta kehati-hatian dalam merespons isu perpajakan.
Menanggapi fatwa MUI yang memuat ketentuan seputar larangan pajak berulang bagi hunian non komersial, Andi Harun menyatakan pemerintah daerah tidak dapat serta merta menindaklanjuti fatwa tersebut tanpa adanya konstruksi aturan dari pemerintah pusat.
“Itu fatwa yang baru kita baca di media sosial. Semua fatwa harus masuk dalam hukum positif. Jadi tentu kita menunggu apakah Kemendagri atau Kemenkeu telah atau akan mengkonstruksi fatwa itu dalam aturan yang relevan,” ujarnya, Kamis (27/11).
Andi Harun sapaan akrabnya AH, menambahkan bahwa pengalaman legislasi nasional menunjukkan banyak nilai keagamaan yang kemudian diformalkan menjadi undang-undang. Salah satunya adalah Undang-Undang Perkawinan. Namun, proses itu tetap melalui mekanisme formal dan tidak bisa diterapkan secara spontan.
“Fatwa itu bisa menjadi sumber nilai. Tapi untuk pajak dan retribusi, kita tetap menunggu konstruksi hukumnya. Pemerintah tidak boleh gegabah. Sifat keberlakuan aturan harus berpegang pada hukum positif,” tegasnya.
Pemkot Samarinda memilih menunggu arahan resmi dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, atau lembaga terkait lainnya sebelum melakukan penyesuaian kebijakan daerah.
Menurut AH, tata kelola pemerintah menuntut setiap keputusan dilandasi regulasi yang jelas, mulai dari undang-undang hingga peraturan teknis. Hal ini penting untuk menjaga kepastian hukum bagi masyarakat, termasuk terkait pajak dan retribusi.
“Undang-undang itu sumbernya bisa dari mana saja, misalnya agama, teori hukum, putusan pengadilan, termasuk fatwa. Tinggal bagaimana pemerintah nasional mengkonstruksi aturan pajak dan retribusi atas keluarnya fatwa ini. Kita tunggu saja,” jelasnya.
AH menyebut Pemkot Samarinda belum berada pada tahap menghitung potensi perubahan pendapatan daerah jika suatu saat fatwa tersebut diadopsi dalam regulasi nasional.
Menurutnya, langkah tersebut masih terlalu dini dilakukan tanpa kepastian arah kebijakan pemerintah pusat.
“Untuk sementara, sabar saja. Kita tunggu prosesnya,” pungkasnya.
Sebagai informasi, fatwa Pajak Berkeadilan dari MUI ini dihasilkan pada Munas XI tanggal 23–24 November 2025. Fatwa tersebut menyoroti pungutan berulang terhadap hunian non-komersial serta barang kebutuhan primer yang dinilai tidak sesuai asas keadilan.
Fatwa ini juga muncul setelah gelombang protes kenaikan PBB terjadi di berbagai daerah, termasuk di Pati, Jawa Tengah, yang sempat mencatat kenaikan hingga 250 persen dan memicu unjuk rasa pada Agustus 2025.



Tinggalkan Balasan