Koalisi Kritik KUHAP Baru: Definisi Saksi Diskriminatif Hingga Ableisme Disabilitas Mental-Intelektual
JAKARTA, INDEKSMEDIA.ID — Sejumlah organisasi penyandang disabilitas yang tergabung dalam Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Reformasi KUHAP mengecam pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang oleh DPR RI pada Selasa (18/11/2025).
Koalisi menyebut KUHAP yang baru disahkan tersebut masih mengandung pasal-pasal diskriminatif, stigmatif, dan tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dalam proses peradilan pidana.
Dalam siaran pers yang dirilis tak lama setelah pengesahan, Koalisi menyatakan rasa kecewa mendalam karena draf terbaru RKUHAP yang dipublikasikan DPR pada hari yang sama masih memuat sejumlah ketentuan yang dinilai mengabaikan prinsip kesetaraan akses terhadap hukum.
Koalisi menilai DPR gagal memastikan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas, termasuk kewajiban negara menjamin aksesibilitas dan akomodasi layak di seluruh tahapan peradilan.
Definisi Saksi Dianggap Diskriminatif
Salah satu sorotan utama Koalisi adalah definisi saksi dalam Pasal 1 angka 47. Aturan itu mendefinisikan saksi sebagai seseorang yang memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana “yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
Rumusan tersebut dinilai secara langsung mendiskriminasi penyandang disabilitas sensorik, khususnya tuli dan netra, karena menafikan cara mereka mengakses informasi melalui indera lain seperti peraba atau penciuman.
Koalisi juga menyoroti bahwa penjelasan Pasal 236 ayat (3) yang memberikan pengecualian bagi penyandang disabilitas tidak masuk dalam batang tubuh undang-undang, melainkan hanya berada pada bagian penjelasan.
Hal itu dinilai berpotensi menyulitkan implementasi, membuka ruang penyimpangan, dan menunjukkan bahwa pembentuk UU tidak memandang kebutuhan penyandang disabilitas sebagai bagian dari norma hukum yang harus dilindungi.
Selain itu, definisi saksi dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, yang menyatakan definisi saksi dalam KUHAP inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai secara lebih luas sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan” tanpa harus selalu melihat, mendengar, atau mengalami langsung suatu peristiwa pidana.
Aturan Dianggap Stigmatis dan Menguatkan Ableisme
Koalisi juga menilai KUHAP baru memuat klausul yang mereproduksi stigma terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual. Pasal 221 mempertahankan ketentuan yang menghapus sumpah atau janji bagi saksi dengan disabilitas mental dan intelektual, yang dinilai seolah-olah menganggap mereka tidak mampu memberi keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 146 turut dikritik karena menempatkan penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam posisi otomatis sebagai objek perawatan atau rehabilitasi, bukan sebagai subjek hukum setara yang membutuhkan dukungan dalam proses hukum.
Pendekatan ini dianggap mengulangi struktur diskriminatif KUHAP 1981 yang terlalu medis-kuratif, alih-alih berbasis hak asasi manusia.
“Dengan mempertahankan pendekatan seperti ini, hambatan sistemik terhadap akses keadilan bagi penyandang disabilitas justru semakin diperkuat,” tegas Koalisi.
Akomodasi Layak Diserahkan ke Peraturan Pemerintah
Pasal 145, yang mengatur akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam sistem peradilan, juga dianggap tidak memadai. Koalisi menilai pengaturan akomodasi yang layak semestinya dicantumkan langsung dalam undang-undang karena berkaitan dengan pemenuhan hak dasar. Penyerahan teknis akomodasi ke Peraturan Pemerintah dianggap terlalu administratif dan berpotensi melemahkan perlindungan hak penyandang disabilitas.
Koalisi menegaskan akomodasi layak tidak hanya berkaitan dengan sarana-prasarana, tetapi juga berbagai bentuk dukungan yang menghilangkan hambatan dalam proses hukum. Dengan menempatkannya di bawah regulasi turunan, negara dianggap mengabaikan kewajiban konstitusional melindungi hak warga negara penyandang disabilitas.
Istilah dan Nomenklatur Tidak Mengakomodasi Kebutuhan Disabilitas
Masalah lain adalah absennya sejumlah istilah penting yang berkaitan dengan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam teks KUHAP baru. Ketentuan tentang Juru Bahasa Isyarat tidak muncul secara eksplisit karena istilah yang digunakan hanya “Juru Bahasa”. Koalisi menilai hal ini dapat menimbulkan misinterpretasi dan berpotensi menghambat pemenuhan hak komunikasi bagi Tuli.
Istilah lain seperti “akomodasi yang layak”, “pendamping penyandang disabilitas”, dan “penilaian personal” yang selama ini menjadi standar dalam pendekatan berbasis hak juga tidak dicantumkan dalam batang tubuh undang-undang.
Masukan dalam RDPU Tak Diakomodasi
Koalisi menegaskan bahwa seluruh kritik dan usulan perbaikan sudah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI pada 29 September 2025. Dalam pertemuan itu, pimpinan RDPU disebut mengakui pentingnya masukan dari organisasi penyandang disabilitas.
Namun, draf final yang disahkan DPR tetap tidak berubah. Koalisi menilai proses RDPU hanya merupakan formalitas untuk menggugurkan kewajiban, tanpa partisipasi bermakna. Mereka juga menilai DPR gagal memberi tanggapan substantif atas masukan yang disampaikan.
“Jika usulan kami tidak diterima, seharusnya DPR memberikan alasan atau penjelasan. Karena partisipasi bermakna adalah hak kelompok disabilitas dalam proses pembentukan hukum yang berdampak langsung pada kehidupan mereka,” demikian pernyataan Koalisi.
Koalisi Disabilitas Serukan Revisi
Koalisi yang terdiri dari 22 organisasi, mulai dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), GERKATIN, PERTUNI, YAPESDI, hingga Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), menyerukan agar pemerintah dan DPR meninjau ulang ketentuan-ketentuan diskriminatif dalam KUHAP baru tersebut.
Menurut mereka, tanpa revisi terhadap definisi saksi, ketentuan sumpah, akomodasi layak, serta pengakuan atas peran Juru Bahasa Isyarat dan pendamping disabilitas, KUHAP baru akan terus memperkuat hambatan struktural dalam akses keadilan bagi puluhan juta penyandang disabilitas di Indonesia.



Tinggalkan Balasan